————————————————————————————–
“Life isn’t that complicated, sometimes we just need to laugh of it.”
—————————————————————————————
“Hidup akan jauh lebih seimbang ketika kita lebih banyak memberikan apa yang kita punya untuk orang lain, tidak hanya sebatas materi, melainkan perhatian dan cinta kasih, serta sabar dan ikhlas yang tak berbatas.”
—————————————————————————————
Buat saya, film Eat, Pray, Love jelas salah satu film yang tidak mudah untuk saya cerna. Bahkan ada beberapa bagian yang saya harus ulang beberapa kali, supaya jelas, apa yang dimaksud oleh Julia Roberts ketika berkata-kata, mengucapkan kalimat-kalimat yang menurut saya butuh pemikiran ekstra untuk mencernanya.
Bagaimana susahnya Julia Roberts sebagai seorang Elizabeth, mengungkapkan “rasa” yang ia rasa dan menuturkannya ke dalam bahasa agar semua orang mengerti apa maksud dari bahasa hatinya. Bagian yang ini yang sering kali saya dapatkan di sepanjang hidup saya. Saya menyebutnya sebagai “Paused Time”.
Somehow it’s just lose me. All of sudden stuck in the middle of those billion words, but still i can’t say it through..
“The concept of balance that we often misunderstand :
That being balanced is not about being right in the center where the left and the right side are both equal length and/or weight. Sometimes being balanced means that when we realize we’re learning too much towards one side. We just need to apply a counter-reaction that has opposite direction. Therefore, the two forces with equal power will reset each other. Often by forcing ourselves to be “in the middle”, in the safe zone, we actually upset our balance.”
————————————————————————————
Saya yang tidak bisa melihat sedikit tantangan, langsung melihat sanggar teater tersebut sebagai sebuah tantangan besar di hidup saya. Masuklah saya ke sanggar teater itu, dengan berbekal hati yang siap diberi berbagai macam tantangan.
2 bulan pertama saya sangat menikmati pelajaran-pelajaran mengenai seni peran di teater tersebut, lalu sampailah saya di bulan ketiga, dimana para guru memulai tes mereka satu per satu untuk para murid. Saya kebagian jatah untuk memainkan satu Monolog. Pada saat saya menerima skrip Monolog tersebut, semua teman saya bilang, saya mendapatkan tes yang mudah. Saya baca skrip itu baik-baik, yang saya dapatkan hanyalah kernyitan di dahi, yang mungkin masih berbekas di dahi saya sampai sekarang 😀
Monolog buat saya jelas satu hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Bagaimana saya harus mengeskpresikan semua kata-kata yang ada di skrip tersebut, sehingga para penonton dapat menangkap dan mengerti lalu memahami apa yang saya maksud dengan ucapan saya. Bagaimana intonasi nadanya ketika objek yang dituju tidak ada di depan mata, bagaimana saya harus memberi jeda dari kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya?
Berbagai macam pertanyaan berputar sedemikian rupa di otak saya, hilir-mudik, lalu-lalang tanpa bisa saya hentikan. Isi skrip monolog tersebut bercerita tentang seorang wanita yang berperan sebagai seorang istri, yang ingin membunuh suaminya. Tidak ada penjelasan mengapa sang istri ingin membunuh suaminya, di skrip tersebut.
Saya berusaha memainkan imajinasi saya, berhubung pada saat itu saya masih berusia 14 tahun dan belum pernah menikah, maka saya pikir pastilah ada orang ketiga di pernikahan mereka, sehingga menimbulkan kebencian yang teramat sangat di hati si istri sampai-sampai ingin membunuh suaminya. Lalu dengan pertimbangan imajinasi saya tersebut, saya melakukan tes monolog saya dengan cukup percaya diri. Begitu banyak penekanan kalimat, intonasi nada yang tinggi serta nafas memburu penuh nafsu membalas dendam.
Setelah saya selesai melakukan tes tersebut, guru teater saya hanya tersenyum dan menyampaikan kepada saya, bahwa saya telah gagal melakukan tes tersebut. Terperangah tak percaya, saya berdiri kaku menunggu penjelasan dari beliau.
Monolog bukan hanya sekedar percakapan dengan diri sendiri ataupun objek yang dituju, yang pada saat itu tidak ada di depan mata, melainkan percakapan dengan hati yang lebih diutamakan.
“Membahasakan rasa yang ada di dalam hati.”
—————————————————————————————
Pada saat hati saya bicara A, lalu menyampaikannya ke otak, lalu diolah lagi sedemikian rupa dengan segala perhitungannya, baru dapat terucap ketika semuanya sudah fix, namun terkadang (bahkan sering kali) yang keluar justru B. Ini jelas tidak balance.
Disitu yang namanya Logika telah menyiasati Hati. Itu yang terjadi dengan Julia Roberts di film Eat, Pray, Love. Menurut saya ya 😀
“Sometimes to lose balance for love is part of living balanced life.”
—————————————————————————————-
Dulu ketika saya melihat orang gila, saya pasti kabur, dan selalu meyakinkan diri saya sendiri, bahwasanya orang tersebut sakit secara fisik, karena dapat di diagnosa oleh dokter. Tapi ternyata setelah saya pelajari, bukan sekedar fisik maupun mental mereka yang sakit. They faith had been shaken too many times.
Your heart might be broken so many times, you might be so fuckin exhausted to deal with your fucked up life, but one thing you should to hold on for the rest of your life, it’s your FAITH. Don’t lose it.
Once you lose your faith, you’ll lose yourself. Stuck in the middle of nowhere, and nobody could find you. It’s definitely scary things, aight? When you get lost, you just want somebody to find you and take you home.
“By logic we may come to a conclusion that our life is not worth living anymore. But, then the heart speaks, suddenly all is good again.”
—————————————————————————————-
One thought on “Balanced Of Life”